Malam itu, pesawat GA 329 mendarat dengan selamat di Bandara
Internasional Soekarno Hatta tepat pukul 22.10 wib. Jamaah umrah Shafira
terlihat secara tertib turun dari pesawat Garuda itu. Setelah paspor
masing-masing dibagikan, mereka menuju loket pemeriksaan keimigrasian.
Sementara bagasi mereka secara bersamaan dibantu check in oleh petugas
Shafira Tour ke pesawat berikutnya yaitu SV 2697 Saudi Arabia Airlines.
Tak terasa, proses imigrasi telah selesai. Saya lalu mencoba
melihat jam tangan, jarum menunjuk pukul 23.15 wib. Padahal, jadwal
keberangkatan pesawat SV 2697 pada pukul 03.50 wib. “Wah, masih panjang
nunggunya.”kata saya dalam hati. Sebagai ketua rombongan dan pembimbing (tour
leader), saya pun mengarahkan jamaah Umrah Shafira untuk menggunakan
kesempatan waktu yang ada, baik untuk istirahat, shalat isya, atau jalan-jalan
menikmati suasana bandara.
“Ustadz, tolong saya!” tiba-tiba seorang jamaah menyapa saya
dengan suara merintih. Wajahnya terlihat begitu pucat. “Apa yang bisa saya
bantu pak?” Tanya saya. Sambil memegangi perutnya, dia berkata, “Perut saya
sakit! Sakit sekali. Sebetulnya, 2 hari sebelum berangkat saya ini sakit diare.
Saya sudah periksa dokter dan sudah dibawakan obat. Hanya, saat ini sakitnya
muncul lagi. Saya barusan sudah ke toilet. Tapi ini malah lebih sakit ustadz..!
Tolong saya carikan dokter…”
“Tenang pak…, bapak sudah ikhtiar. Bapak kan sudah bawa
obat. Sekarang yang bapak butuhkan adalah Allah. Bapak ambil air putih, minta
kepada-Nya, berdoa supaya sakit itu minggat dan minum airnya. Insyaallah pak, nanti akan sembuh.”
Kata saya sambil menyentuh bagian perut yang dia katakan sakit. Bapak yang
berprofesi sebagai dosen hokum di salah satu perguruan tinggi negeri di
Surabaya itu pun berlalu menuju keluarganya tanpa ekspresi.
Entah, apa yang sedang dipikirkannya. Apa dia mau menuruti
kata-kata saya atau kecewa dengan kata-kata saya, saya gak tahu pasti. Namun,
andai dia kecewa, saya bisa memahami. Sebab, mungkin pengaruh dari profesi yang
selalu mendahulukan fakta dan bukti hukum, maka dia mikirnya adalah dia sakit
dan dia butuh dokter. Cuma, nyari dokter di ruang tunggu bandara saat dini hari
juga bukan perkara mudah.
Akhirnya, jam keberangkatan tiba. Semua jamaah umrah
mengantri menuju kursinya masing. Perjalananan itu menyita waktu selama 9 jam
dan langsung turun di Bandara Madinah al-Munawwarah. Proses imigrasi pun lancer,
dan tanpa terasa semuanya sudah berada dalam hotel Royal Dyar dan sebagian di
Moventpick yang tepat di depan Masjid Nabawi. Hari pertama, semua jamaah
melakukan ibadah mandiri dan malamnya terjadwal mengunjungi Raudlah.
Keesokan harinya, saya bertemu dengan jamaah yang sebelumnya
saat di Bandara Jakarta mengeluh sakit luar biasa. Saya pun mendekatinya. “Assalamualaikum,
apa kabar pak?” sapa saya. “Waalaikumsalam.. Wah, Ustadz! Alhamdulillah baik.” Katanya
ceria. Saya pun penasaran dan lalu menanyakan perihal sakit sebelumnya yang dia
derita, “Hem.. maaf, bagaimana pak, apa perutnya masih terasa sakit.”
Dia seperti terkejut mendengar pertayaan saya. Sambil
tersenyum, lalu dia berkata, “Ya Allah, kok sampai lupa kalau saya sebelumnya sakit.
Saat turun menginjakkan kaki di Kota Nabi ini kemarin, saya tidak merasakan itu
lagi ustadz. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah…” katanya sambil matanya
berkaca-kaca. Saya pun bersyukur dengan apa yang saya lihat. Allah telah
memberikan rahmat-Nya bagi para tamu-Nya. Subhanallah! [mt]
0 komentar:
Posting Komentar